Selasa, 04 Februari 2014

Sunday Sudah (terlanjur) Berlalu

Kemarin kubilang ‘Sunday, cepatlah berlalu, Sunday, cepatlah berlalu, Sunday, cepatlah berlalu’. Terus saja seharian itu kukatakan begitu. Aku rasa lebih baik aku tidur saja, berhibernasi untuk sehari kemarin. Harusnya Sunday kemarin tidak ada dan langsung melaju ke hari ini. Sunday, Sunday, Sunday, Sunday, aku ingin kamu cepat berlalu. Tapi tidak, rupanya hal seperti itu tidak bisa terjadi. Dan akupun tetep melewati Sunday.
Malam tadi, aku tidur di kontrakan temanku yang juga bernasib sama denganku. Sunday, cepatlah berlalu. Kami sama-sama ingin melewati hari tanpa Sunday kemarin. Bertemu dengan teman seperjuangan dan saudara senasib, kamipun saling diam karena sama-sama sedang bersedih harus melewati Sunday di Jogja. Ya, sebenarnya permasalahannya adalah kami masih ada di Jogja.
Harusnya kami di kampung halaman bersama teman kami yang lain, yang juga bernasib sama. Sunday, cepatlah berlalu. Tapi, bagi mereka, Sunday adalah hari yang mereka tunggu-tunggu untuk segera dilalui. Tapi bagi aku dan temanku tadi malam, Sunday adalah hari yang seharusnya tidak kami lalui, di Jogja.
Seharian kemarin aku pergi dari rumah tanteku jam setengah 10 pagi.  Tujuanku adalah kampus. Entahlah, apa yang ingin kulakukan di kampus. Baru saja ingin berbelok ke tempat parkir, seseorang menelponku. Itu temanku yang ada di kampung halaman yang sedang berjuang menghadapi Sunday dengan senang. Tidak sepertiku.
“Ema, kamu dimana e?” tanyanya.
“Di kampus.”
“Hm..Gak jadi pulang ta kamu?” pertanyaan itu membuatku remuk dan seketika itu juga aku siap menangis memasuki halaman parkir.
“Gak.”
“Kenapa?”
“Gak kenapa-napa.”
“Ow.. banyak yang nyariin kamu tuh.” Bagus. Kata-kata yang tepat untuk jadi alasan aku benar-benar menangis sekarang. Bagus.
“Hm..”
“Kamu kenapa e? Gak crewet kayak biasanya…”
“Gak papa.” Aku benar-benar sudah menangis.
“Hm.. Yaudah ya.”
“Ya.”
Klik. Telepon mati.
Kututup kaca helm ku, aku menangis menutupi mulutku, berharap hanya mataku yang terlihat dan tidak ada yang sadar bahwa aku sedang menangis di atas motorku. Aku benar-benar tidak bisa berhenti menangis. Kalimat itu terus saja terngiang di pikiranku. ‘banyak yang nyariin kamu tuh’.
Harusnya aku pulang. harusnya aku pulang. harusnya aku pulang. terus saja itu yang kukatakan. Terus saja kalimat itu yang kutangiskan. Sunday, cepatlah berlalu. Aku benci di sini. Harusnya aku pulang.
Aku pergi dari tempat parkir dan melaju entah ingin kemana. Dan entah bagaimana aku memutuskannya, tiba-tiba aku duduk di hall rektorat kampusku. Duduk di sana, membuka laptop dan menyambungkannya pada wifi kampus.
Ku-sms temanku yang senasib denganku. ‘Icun, aku pengin pulang.. tau tempat nangis yang enak ndak?
Nonton film sedih-sedih aja mben nangis.’ jawabnya. Aku diam saja. Aku tau dia senasib dengaku.
Aku memang ada tugas yang harus kukumpulkan besok, tapi sebenarnya tugas itu kubawa kerumahpun bisa, kutinggal pulang dan bersama teman-temanku di kampung halaman juga bisa, sambil membantu mereka. Tapi kenapa aku masih saja stuck di Jogja dan berharap Sunday cepat belalu. Hampir membunuhku. Akhirnya kualihkan pikiranku ke sana. Kukerjakan tugasku dengan bantuan wifi kampus. Sambil searching hal-hal lain yang tidak penting yang cukup membuatku tertawa sedikit. Hanya sedikit. Dan sedikitpun aku tidak lupa bahwa waktu itu adalah Sunday. Huh, aku ingin menangis lagi. Biarkan. Ayo, lupakan Sunday. Lupakan. Sudah banyak yang membantu di sana.
Gak ada satu orang gak memperngaruhi kok. Kata ketuaku.
Ya, aku harus berpikir begitu dan menganggap kehadiranku di sana juga tidak akan mengubah apapun. Ya, itu benar. Tidak masalah kalau aku tidak pulang dan tidak membantu mereka. Karena ketidakhadiranku tidak akan mempengaruhi mereka. Hmm..bagaimana dengan ‘Banyak yang nyariin kamu tuh’. Oh, itu cuma tanya aku di mana dan kenapa tidak hadir, padahal kemarin masih di kampung halaman. Ya, mereka tidak sedang berharap aku di sana untuk sebuah bantuan. Karena gak ada satu orang gak mempengaruhi kok. Hhmm…aku lanjutkan mengerjakan tugasku yang harus dikumpul besok.
Dari siang tadi, akhirnya aku memutuskan pulang. Waktu itu jam 6 sore, sudah magrib. Aku tidak pindah tempat dan terus di hall rektorat kampusku. Tidak makan, tidak minum, hanya nyemil kripik menyok.
Ku sms teman senasibku lagi, ‘Dek, maem di luar?’
Gak mbak, dompetku lagi cupu.. jadi tidur tempatku?
Huum, bentar tak ngapa-ngapain dulu dikos ters ke tempatmu
Aku bikin omlet.. dah maem belum, Mbak?
Belum, tak bawain beras ta? Dikosku banyak beras
Gak usah, Mbak, ini ada beras kok’
Kurasa, aku sedang meratapi nasib. Tidak tau mau apa. Tidak tau mau melakukan apa. Tidak tau mau kemana. Tidak tau ingin kemana. Tidak tau, benar-benar tidak tau kenapa aku tidak pulang saja??!!
Dan Sunday hampir berlalu, ketika aku sampai di kontrakan teman senasibku itu. Waktu itu jam 8 malam. Huh, cepatlah tidur. Dan aku mengharapkan hari ini datang. Ternyata aku tidur jam 3 pagi. Mungkin juga karena kopi yang kuminum dan memang karena aku masih bergulat dengan laptopku. Sebelum tidur, kubuka album foto di laptopku yang kuberi nama ‘IMAGO’. Ada ratusan foto di sana dengan folder yang berbeda-beda semua, kubuka satu persatu dan aku tersenyum. Kataku, bagaimana hari ini? Lancarkkah? Aku harap kalian tau kalau aku benar-benar ingin pulang dan menangis di sini karena tidak bisa bersama kalian. Aku tidur.
Dan hari ini datang. Aku kembali ke kampus lagi, bukan untuk mengerjakan tugas atau wifi an, tugasku sudah kukirim tadi malam. Hari ini, karena aku masih di Jogja, aku KRS-an saja, bertemu dengan dosenku. Harusnya KRS-an pun bisa kulakukan setelah aku pulang kampung dan kembali ke Jogja. Harusnya KRS-an bisa kulakukan tanpa meninggalkan mereka di kampung halaman. Tapi entahlah. Apa yang sebenarnya kulakukan di Jogja, aku benar-benar tidak tau. Dan aku langsung menyesal ketika itu juga. KENAPA AKU TIDAK PULANG SAJA????????????????
Sunday, kembalilah. Aku ingin pulang…..!!!!!!
Hari berlalu sampai sore aku baru kembali ke kos dengan basah kuyup karena hujan. Aku tidur mana malam ini? Aku masih tidak mau tidur kos. Ada sms, ternyata temanku yang di kampung halaman ada yang sudah sampai ke Jogja. Aku ke kontrakannya sesegera mungkin. sebenarnya untuk memberikan kunci motornya yang kubawa. Tapi juga berharap semoga perasaaan menyesalku bisa berkurang. Rupanya tidak. Baru saja kita bertemu, dia bercerita “Acaranya gagal, Mbak”
Tuhan, kumohon kemabalikan Sunday, dan biarkan aku pulang!!! Kumohon, Tuhan. Kumohon!!!!!
“Emang kenapa?” tanyaku sudah menahan tangis. Kurasa wajahku tidak berbentuk sama sekali, datar dan entahlah, mungkin juga menyebalkan.
Tapi bukan jawaban yang ku dapat dari pertanyaanku. Temanku itu malah berteriak “EH, LJK NYA KETINGGALAN…!!!” yang selanjutnya adalah dia mengambil handphone-nya dan menelpon ke sana ke sini.  Tidak nyambung. Tidak diangkat. Tidak aktif. Gagal. “LJK NYA KETINGGALAN DI TRAVEL, MBAK…!!!! Aduuuhh aku kelupaan… Tadi aku bareng Isas sama Revi. Revi pasti belum turun kontrakannya. Duuhh Revi gak bisa dihubungi…!!”
Aku bingung.
Teman kontrakannya ada yang muncul “Mbak Ema, laper.” Pembicaraan yang diluar kepanikan.
“Aku juga, dek, belum makan dari tadi pagi.”
“Maem yuk.”
Kenapa aku pergi makan dan meninggalkannya kebingungan dengan LJK yang ketinggalan? Ah, tidak apa-apa, toh aku meamng kelaparan belum makan dari tai pagi. Selama makan, meskipun aku diajak berbicara, aku terus sibuk dengan handphone-ku mencoba sms Isas dan Revi untuk minta bantuan menghubungi travel yang mereka naiki. Ketika aku kembali ke kontrakan, anak tadi tidak ada.
“Lha, Dek Nor kemana?”
“Pergi ke agen sama Mbak Icun.” jawab adiknya Dek Nor.
Teman yang makan denganku langsung pergi ketika sampai di kontrakan. Dia pergi mengajar, les, dan aku duduk dengan adiknya Dek Nor. Baru sebentar duduk, Dek Nor dan Icun sampai di kontrakan.
“Besok pagi, Mbak, katanya.” cerita Dek Nor ketika masuk kamarnya dan melihatku duduk-duduk di sana. Dia terlihat lemas. Tentu saja, bagaimana tidak lemas, LJK Try Out anak-anak SMA se-Bojonegoro tertinggal di Travel padahal belum di koreksi dan pertanggungjawabannya ke Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.
Rupanya sms-ku ke Isas cukup berguna, dia mendapatkan nomor supir travel dan Dek Nor langsugn menghubungi nomor itu. Sambil menghubungi lewat telpon dan sms, dia bercerita panjang padaku, tentang Sunday. Cerita itu membuaku benar-benar menyesal dan ingin pulang. Sunday, bisakah kamu kembali?? Aku janji tidak akan mengusirmu dari hariku dan akan teramat sangat kulalui dengan bahagia sekali kalau kamu kembali dan membiarkanku pulang. Tapi tidak. Sudahlah, Sunday sudah terlanjur berlalu. Aku tidak bisa apa-apa lagi.
Di kamar Dek Nor, kami bercerita tentang banyak hal. Tentang Sunday, tentang sinetron di tivi yang sedang kami tonton bersama, tentang ‘tetanggane Mas Mugi’ yang sedang smsan dengan Icun, tentang guyonan-guyoanna lainnya. Tawaan malam ini cukup menghiburku. Cukup membuatku sedikit, sangat sedikit, lega. Tapi juga tidak sedikitpun aku lepas memikirkan Sunday yang sudah terlanjur berlalu.
Akhirnya supirnya memberi jawaban. Aku dan Dek Nor langsung pergi ke gudang travel untuk mengambil LJK yang ketinggalan. Sekarang jam setengah 11 malam. Kita pergi ke Ring Road Barat dari Jalan Gejayan dan kembali jam setengah 12 dengan membawa kresek kuning berisi LJK yang ketinggalan. Hm.. setidaknya aku membantu pekerjaan kalian pasca Sunday.
Kupikir, baiklah, Sunday sudah terlanjur berlalu. Kuharap aku bisa membantu kalian pasca Sunday. Sampai nanti hari evaluasi Sunday datang.
Sunday, kembalilah.


Fithria Nur Halimah
Selasa, 4 Februari 2014

Di GK I lt. 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar